Senin, 10 Maret 2014

VIRUS


2.1 Karakteristik dan Struktur Virus
2.1.1 Karakteristik Virus
Virus adalah mikroorganisme yang sedemikian kecilnya sehingga hanya dapat dilihat dengan bantuan mikroskop elektron. Virus bahkan dapat lolos melewati pori-pori saringan yang tidak memungkinkan lewatnya bakteri. Ukuran virus diketahui berkisar antara 20-14.000 nm. Virus juga hanya dapat memperbanyak diri di dalam sel-sel organisme lain, baik itu mikroorganisme, protozoa, hewan, maupun tumbuhan. Karena alasan inilah mereka kemudian disebut parasit intraseluler obligat.
Virus sangat bergantung kepada sel-sel inangnya untuk bereproduksi. Terutama karena tidak mempunyai perlengkapan metabolik sendiri, sehingga virus tidak mampu membangkitkan energy atau mensintesis protein. Kisaran inang virus sangat luas, meliputi bakteri, fungi, protista, hewan, dan tumbuhan.
Satu hal yang membuat virus dianggap sebagai makhluk hidup adalah karena virus memiliki informasi genetis untuk bereproduksi dan mengambil alih sistem pembangkit energy inangnya. Bahan genetic virus adalah DNA atau RNA, namun sejauh ini belum ada ditemukan virus yang memiliki DNA dan RNA sekaligus. Materi genetik ini dikemas di dalam selubung protein yang dikenal sebagai kapsid. Selubung ini berfungsi melindungi materi genetic virus ketika berada di luar sel (Pelczar, et al. 2005).
2.1.2 Struktur Virus
Struktur dasar yang dimiliki virus adalah materi genetiknya berupa asam nukleat DNA atau RNA, serta selubung protein atau yang lebih dikenal dengan kapsid.  Kadang-kadang virus tertutup oleh envelope, yaitu suatu struktur yang tersusun atas lipid, protein, dan karbohidrat yang mengelilingi asam nukleat virus.
Asam nukleat virus berupa DNA atau RNA, beruntai tunggal / single strain (ss) ataupun beruntai ganda / double strain (ds). Asam nukleat virus dapat berbentuk linear ataupun sirkuler. Pada beberapa virus, contohnya virus influenza., asam nukleatnya berupa segmen-segmen yang terpisah.
Kapsid adalah susunan protein yang mengelilingi asam nukleat virus. Struktur kapsid sangat ditentukan oleh asam nukleat virus. Kapsid tersusun atas subunit-subunit morfologis yang disebut kapsomer. Kapsomer sendiri terdiri dari sejumlah subunit protein yang disebut protomer.
Pada beberap virus, kapsid ditutupi oleh sampul atau envelope. Sampul umumnya terdiri dari kombinasi antara lipid (mayoritas), protein, dan karbohidrat. Karena komposisi penyusunnya ini, virus berenvelope bersifat sensitive terhadap zat yang dapat melarutkan membran lipid, misalnya eter. Sampul dapat ditutupi oleh struktur serupa paku (spike) yang merupakan kompleks karbohidrat dan protein. Spike dapat berperan pada proses perlekatan virus pada sel inang. Virus dengan kapsid yang tidak tertutupi oleh sampul disebut virus telanjang (non-enveloped virus). Pada virus ini, kapsid melindungi asam nukleat virus dari enzim nuklease sel inang dan mendukung perlekatan virus pada ssel inang yang peka (Pratiwi, 2008).
2.1.3 Morfologi Umum Virus
Virus memiliki beberapa bentuk morfologi berdasarkan arsitektur kapsidnya. Berdasarkan hal itu, morfologi virus dibedakan menjadi:
a.       Virus Heliks
Kapsid menyerupai bentuk batang yang memanjang, ada yang menyambung pada bagian ujung-ujungnya, dan ada pula yang terputus atau terbuka pada bagian ujung-ujungnya. Kapsid dapat bersifat kaku ataupun fleksibel. Asam nukleat virus ditemukan di dalam lekuk kapsid silindris. Contoh dari virus yang memiliki morvologi ini adalah Virus Rabies dan Virus Ebola.
b.      Virus Polihedral
Kapsid berbentuk ikosahedron, yaitu polihedron regular dengan 20 permukaan triangular dan 20 sudut. Kapsomer di setiap permukaan berbentuk segitiga sama sisi. Contoh dari vierus bermorvologi ini adalah Adenovirus dan Poliovirus.
c.       Virus Bersampul (enveloped)
Morvologi virus ini sebenarnya didasarkan pada keberadaan sampul atau envelope nya. Sementara arsitektur kapsidnya sendiri tetap hanya dua tipe diatas, yaitu polihedral dan heliks. Bila virus heliks memiliki sampul, maka disebut virus heliks bersampul (enveloped helical virus). Sementara bila virus polihedral memiliki sampul, disebut virus polihedral bersampul (enveloped polyhedral virus). Contoh dari virus ini masing-masing adalah: Virus Influenza (heliks bersampul), Virus Herpes Simpleks (polihedral bersampul).
d.      Virus Kompleks 
Morvologi virus dikatakan kompleks apabila dia memiliki bentuk struktur yang tidak jelas, atau susah dikategorikan berbentuk heliks atau polihedral. Contohnya adalah Bakteriofag, kapsidnya berbentuk polihedral, dengan ekor berbentuk heliks. Contoh lain adalah Poxvirus, kapsidnya tidak terlihat dengan jelas, namun diketahui terdapat selubung protein yang mengelilingi asam nukleat virus tersebut. (Pratiwi, 2008).
2.2 Klasifikasi virus
Pengklasifikasian virus dalam bentuk taksonomi memiliki banyak kesulitan jika dibandingkan dengan kehidupan tingkat tinggi. Namun pada tahun 1966, para virologis berhasil membentuk suatau badan Internasional untuk taksonomi virus (International Committee on the Taxonomy of Viruses atau ICTV). Dalam hal ini, mereka menyepakati untuk menempatkan virus pada tiga tingkat takson, yaitu famili, genus, dan spesies.
Nama famili virus ditandai dengan akhiran viridae. Dalam penulisan secara taksonomi, nama famili virus ditulis dengan huruf kapital awal dan garis bawah atau cetak miring. Sementara itu, nama genus virus ditandai dengan akhiran virus. Cara penulisan nama genus sama dengan cara penulisan nama famili. Khusus untuk spesies, pemberian nama spesies virus tidak berpedoman pada tata nama sistem binomial. Dalam hal ini, nama virus ditulis dalam bahasa Inggris (bukan bahasa latin) dan tidak menggunakan kapital awal, garis bawah, atau cetak miring. Misalnya, polio virus (untuk virus polio) dan herpes simplex virus (untuk virus herpes).
Berikut ini diberikan dua contoh penulisan virus dari tingkat takson famili, genus dan spesies.
Famili  : Picornaviridae                      Famili  : Herpesviridae
Genus  : Enterovirus                            Genus  : Herpesvirus
Spesies: poliovirus                               Spesies: herpes simplex virus
Dalam mengklasifikasikan virus, para ahli menggunkan beberapa pendekatan. Sebagaian ahli mengklasifikasikan virus berdasarka jenis sel inang dan jenis materi genetik. Sebagian ahli lain melakukannya dengan cara yang lebih lengkap. Terutama terhadap virus yang menginfeksi hewan. Dalam hal ini, mereka mengklasifikasikan virus berdasarkan tipe asam nukleat (materi genetik), simetri kapsid, ada tidaknya kapsid, ukuran virus, dan jumlah kapsomer.
2.2.1 Klasifikasi Virus Berdasarkan Sel Inang
Berdasarkan jenis sel inangnya, virus dapat diklasifikasikan atas virus hewan, virus tumbuhan dan virus bakteri.
a)      Virus Hewan
Virus hewan merupakan virus yang menginfeksi sel hewan atau manusia. Contohnya: rhabdovirus, roussarcoma virus (RSV), dan new castle disease virus (VCDV) pada hewan dan herpes simplex virus (HSV), influenza virus, serta human immunodeficiency virus (HIV) pada manusia.
b)      Virus Tumbuhan
Virus tumbuhan merupakan virus yang menginfeksi sel tumbuhan. Contohnya: tungro virus, citrus vein phloem degeneration (CPVD), dan tobacco mosaic virus (TMV)
c)      Virus Bakteri
Virus bakteri merupakan virus yang menginfeksi sel bakteri. Contohnya: bakteriofage atau fage
2.2.2 Klasifikasi Virus Berdasarkan Jenis Materi Genetik dan Cara Repoduksi
Berdasarkan jenis materi genetik dan cara reproduksinya, virus dibedakan atas beberapa kelas (kelompok). Cara pengklasifikasian demikian dikenal juga sebagai klasifikasi Baltimore (nama orang yang pertama kali memperkenalkannya).

Menurut Baltimore, virus-virus yang tergolong pada kelas I sampai Kelas V melakukan reproduksi secara replikasi, sedangkan virus kelas VI dan VII melakukannya secara transkripsi balik. Pada proses transkripsi balik, virus menggunkan ARN sebagai model cetakan (blue print) untuk membentuk AND. Selanjutnya, AND yang terbentuk digunakan untuk membentuk ARN virus baru.

2.3      Virus Tumbuhan
Virus tumbuhan  disusun oleh asam nukleat (RNA atau DNA) berantai tunggal yang juga berfungsi sebagai genom virus. Genom virus itu dibungkus oleh protein selubung atau dikenal juga dengan istilah kapsid. Kapsid terbentuk dari banyak subunit protein yang disebut kapsomer. Beberapa jenis virus juga diselubungi molekul gabungan antara lemak dan protein yang disebut lipoprotein sebagai mantel (coat). Genom virus terdiri atas satu atau lebih molekul asam nukleat yang dibungkus protein selubung. Gabungan antara asam nukleat dan protein selubung disebut virion atau dikenal dengan istilah nukleokapsid.
Asam nukleat
Asam nukleat yang menjadi genom virus tumbuhan sebagian besar merupakan molekul ssRNA. Namun ada beberapa mempunyai genom dsDNA, ssDNA, dan dsRNA. Asam nukelat (DNA atau RNA) terdiri atas rantai polinukleotida yang masing-masing nukleotidanya dihubungkan oleh ikatan fosfodiester. Genom merupakan molekul yang berperan dalam perkembangan organisme, termasuk virus yang terdapat pada garis pembatas antara benda hidup dan mati. Genom virus tersusun atas gen yang menyandi protein yang diperlukan oleh virus untuk replikasi dan menginfeksi sel inang. Dapat dilihat pada virus TMV yaitu strain S yang virulen dan menimbulkan gejala mozaik sistemik serta strain HR yang avirulen dan menimbulkan gejala hipersensitif pada tanaman tembakau.

2.3.1 Tahapan Infeksi Virus Tumbuhan
Terdapat beberapa tahapan infeksi virus tanaman yang dicontohkan pada virus Tobacco Mozaik yakni:
a.      Inokulasi
          Tahap ini merupakan tahap kontak pertama antara patogen dan tanaman. Bagian dari patogen atau patogen yang terbawa agen tertentu yang mengadakan kontak dengan tanaman disebut inokulumDengan demikian inokulum merupakan bagian dari patogen atau patogen itu sendiri yang dapat menyebabkan penyakit pada tanaman. Inokulum patogen sampai ke permukaan tubuh tanaman inang melalui perantaraan angin, air, serangga dan sebagainya.
b.      Penetrasi
          Merupakan proses masuknya patogen atau bagian dari patogen ke dalam sel, jaringan atau tubuh tanaman inang. Terdapat patogen yang dapat melakukan penetrasi melalui beberapa macam cara dan ada pula yang hanya dapat melakukan penetrasi melalui satu macam cara saja. Sering patogen melakukan penetrasi terhadap sel-sel tanaman yang tidak rentan sehingga patogen tidak mampu melakukan proses selanjutnya atau bahkan patogen mati tanpa menyebabkan tanaman menjadi sakit. Patogen melakukan penetrasi dari permukaan tanaman ke dalam sel, jaringan atau tubuh tanaman inang melalui empat macam cara sebagai berikut:

·         Secara langsung menembus permukaan tubuh tanaman
·         Melalui lubang-lubang alami
·         Melalui luka
·         Melalui perantara (vektor)

Proses penetrasi partikel virus pada tanaman inang tembakau (TMV) selama inokulasi secara manual pada daun yakni:
·         Masuknya virus secara langsung yang dapat melalui luka (kerusakan mekanik) terkait pada tanaman tidak terdapat reseptor virus, sehingga penetrasi berlangsung dengan adanya vektor.
·         Perlekatan virus partikel dengan membrane sel dan bagian partikel virus atau RNA virus ke sel
·         Perjalanan virus tersebut melalui dinding sel dengan via ektodesma atau “bleb”. Dinding tersebut berperan sebagai barrier tambahan untuk membrane sel.
·         Perlekatan partikel virus pada membrane sel dan masuk setelah invaginasi membrane dan pembentukan vesikel endositosik
·         Perlekatan partikel virus pada dinding sel luar dan bagian dari RNA virus ke dalam sel melalui dinding.
c.        Infeksi
          Merupakan suatu proses dimulainya patogen yang memanfaatkan nutrien dari tanaman inang. Proses ini terjadi setelah patogen melakukan kontak secara langsung dengan sel-sel atau jaringan rentan dan mendapatkan nutrien dari sel-sel atau jaringan tersebut. Infeksi yang terjadi pada tanaman inang, akan menghasilkan gejala penyakit yang tampak dari luar (symptom) seperti: menguning, berubah bentuk (malformasi), atau bercak (nekrotik). Beberapa proses infeksi dapat bersifat laten atau tidak menimbulkan gejala yang tampak mata, akan tetapi pada saat keadaan lingkungan lebih sesuai untuk pertumbuhan patogen atau pada tingkat pertumbuhan tanaman selanjutnya, patogen akan melanjutkan pertumbuhannya, sehingga tanaman menampakan gejala sakit. Selama proses infeksi, patogen akan tumbuh dan berkembang di dalam jaringan tanaman. Pada infeksi virus tumbuhan terdiri atas tahapan penyebaran virus
Penyebaran virus
      Virus tanaman menginvasi dan menginfeksi jaringan baru di dalam tubuh tanaman inang dengan jalan menghasilkan keturunan (individu-individu patogen) dalam jaringan yang terinfeksi. Keturunan patogen ini kemudian akan terpindah secara pasif ke dalam sel-sel jaringan lain melalui 2 mekanisme yakni:
1)   Cell-to-cell movement
                 Merupakan pergerakan virus dari satu sel ke sel lain dengan jarak yang dekat yaitu 1 mm/hari (8-10 sel) pada tanaman sebagai inangnya melalui plasmodesmata yang sebagian besar bergerak dari satu sel ke sel lain sebagai protein non-struktural komplek dan genom RNA. Pergerakan tersebut difasilitasi oleh protein movement protein (MP). Secara umum, mekanisme Cell-to-cell movement virus dapat terjadi melalui mekanisme pada gambar berikut:

Berdasarkan pada gambar di atas, dapat diketahui secara jelas mekanisme cell-to-cell movement virus yang meliputi rangkaian proses antara lain (1) MP (Movement Protein) berikatan dengan RNA virus dan membentuk MP komplek; (2) Protein inang dan protein virus dimungkinkan berada di MP komplek; (3) MP komplek bergerak dari sel-sel yang berdekatan melalui plasmodesmata; (4) Di dalam sel yang baru RNA virus dilepaskan dari MP komplek; (5) Kemudian RNA virus ditranslasi pada ribosom inang dan siklus replikasi berulang. Namun, pergerakan tersebut dapat bervariasi sesuai jenis virusnya. Pada TMV (Tobacco Mosaic Virus) pergerakan melalui plasmodesmata dalam mekanisme pergerakannya tidak membutuhkan coat protein (CP). Protein movement (MP) komplek dengan RNA virus bergerak di sepanjang mikrotubulus dari RE yang berhubungan dengan situs replikasi virus, MP-RNA komplek ke situs adesi dinding sel putatif dan plasmodesmata. Virus RNA tanaman menggunakan protein nonstruktural mereka untuk menargetkan dan bergerak melalui kortikal retikulum endoplasma (ER) tubulus dalam persimpangan antar tanaman untuk sel-sel menyebar. Sebagian besar dari protein ini, termasuk triple-gen-blok 3 protein (TGBp3) adalah protein membran ER. Adanya TGBp3 mengganggu penyebaran virus, dan tanaman terinfeksi virus.  
2)  Long distance movement in plant
    Merupakan pergerakan virus dengan jarak jauh dari keberadaan virus dalam tanaman sebagai inangnya. Pergerakan tersebut berlangsung dengan cepat melalui pembuluh floem tanaman inang.

a.    Transmisi ke tanaman inang lainnya
         Merupakan proses berpindahnya patogen atau inokulum dari sumbernya ke tanaman lain yang dapat berperan sebagai inang. sehingga tanaman yang sehat dapat menjadi sakit. Penyebaran patogen tersebut dapat terjadi secara aktif maupun pasif. Penyebaran pasif yang berperan besar dalam menimbulkan penyakit, yaitu dengan perantaraan angin, air, hewan (terutama serangga), dan manusia. Beberapa patogen dapat melakukan penyebaran secara aktif, misalnya hewan arthropoda yang dapat berperan sebagai vektor antara lain Aphids, mites, whiteflies.

Struktur virus hewan terdiri atas:
·         Selubung dengan glikoprotein, yang berfungsi sebagai selubung gabungan antara karbohidrat dan protein sehingga disebut glikoproetein.
·         Kapsid, yang berfungsi sebagai protein selubung yang melindungi genom virus.
·         Rantai RNA, yang berfungsi sebagai genom virus.

2.3.1        Siklus Reproduktif Virus Hewan
Siklus reproduktif hewan merupakan siklus reproduktif dari suatu virus berselubung. Siklus diawali dengan adanya gikoprotein yang menonjol keluar dari selubung virus dapat mengenali dan kemudian mengikatkan diri pada molekul-molekul. Selubung virus bergabung dengan membran plasma sel tersebut, serta kapsid dan genom virus masuk ke dalam sel, enzim seluler memisahkan kapsid. Genom virus berfungsi sebagai cetakan untuk membuat untai RNA komplementer yang memiliki dua fungsi; berfungsi sebagai cetakan untuk membuat salinan yang baru dari RNA genom dan berfungsi sebagai mRNA ini ditranslasi menjadi protein kapsid dan glikoprotein untuk selubung virus. Rektikulum endoplasmik (RE) sel mensintesis glikoprotein. Vesikula mengangkut glikoprotein ke membran plasma dari sel tersebut. Kapsid disusun di sekeliling setiap molekul genom virus. Virus bertunas dari sel yang selubungnya bertahtakan glikoprotein virus, berasal dari membran plasma tersebut.
 
2.3.1        Penyakit Virus yang Penting pada Hewan
Virus RNA diklasifikasikan menurut untai RNA-nya dan bagaimana untai tersebut berfungsi dalam sel inang. Perlu diperhatikan bahwa terdapat 3 tipe genom RNA untai tunggal (kelas IV-V). Genom dari virus kelas IV dapat langsung bertindak sebagai mRNA sehingga bisa ditranslasi secepatnya menjadi protein virus segera setelah infeksi. Genom dari virus kelas V menunjukkan bahwa genom RNA berfungsi sebagai cetakan (template) untuk sintesis mRNA. Genoom RNA ditranskripsi menajdi sebuah untai RNA-komplementer yang berfungsi sebagai mRNA dan sebagai cetakan untuk mensintesis salinan tambahan dari RNA genom. Seperti semua virus yang membutuhkan sintesis RNA----RNA untk membuat mRNA, virus ini juga menggunakan enzim virus yang tersimpan di dalam kapsid bersama-sama dengan genom. 

Penyakit virus yang penting pada hewan  salah satu contohnya adalah virus HIV/AIDS. Virus HIV/AIDS merupakan retrovirus yang merupakan virus RNA yang memiliki siklus reproduktif paling rumit. Terdapat struktur tambahan dalam retrovirus ini yakni enzim transkriptase balik yang berfungsi sebagai mentranskripsi DNA dari cetakan RNA memberikan arah aliran informasi RNA--DNA.
Siklus reproduktif virus HIV dimulai ketika genom masuk ke dalam sel inang ketika virus bergabung dengan membran plasma dan protein kapsid dilepaskan secara enzimatik. Ensim transkriptase balik mengkatalisis sintesis untai DNA yang berkomplementer dengan cetakan RNA yang disediakan oleh genom virus dan kemudian sintesis dari untai DNA komplementer. DNA untai ganda yang dihasilkan dimasukkan sebagai provirus ke dalam genom sel inang. Gen-gen provirus ditranskripsi menjadi molekul-molekul mRNA yang ditranslasi di dalam sitoplasma menjadi protein HIV. RNA yang ditranskripsi dari provirus juga berfungsi sebagai genom generasi selanjutnya dari virus. Penyusunan kapsid di sekitar genom diikuti oleh pertunasan virus-virus baru dari sel inang.

2.5  Bakteriofage
2.5.1 Struktur dan Morfologi Bakteriofage
Bakteriofage memiliki struktur berupa kepala dan ekor. Bagian kepala bakteriofage biasanya berbentuk ikosahedral, yaitu kapsidnya bersegi 20, masing-masing merupakan segitiga sama sisi. Keduapuluh segi ini bersatu membentuk 12 puncak. Pada kapsid yang paling sederhana, ada satu kapsomer pada setiap puncak, kapsomer ini dikelilingi oleh lima kapsomer lainnya. Di bagian dalam kapsid yang berbentuk ikosahedral ini terdapat asam nukleat virus.
Bagian ekor bakteriofage juga merupakan modifikasi dari kapsid. Hanya bedanya, bagian ekor bakteriofage tersusun atas kapsid yang berbentuk heliks atau batang. Di dalam kapsid berbentuk batang ini juga terdapat asam nukleat virus. Selain kedua struktur diatas, bakteriofage juga biasanya memiliki bagian leher, yaitu bagian yang menghubungkan bagian kepala virus dengan bagian ekor virus. Di bagian ujung ekor bakteriofage juga biasanya terdapat serabut ekor dan lempengan dasar yang berisi duri ekor. Struktur di bagian ekor ini kelak akan berfungsi saat virus melakukan penetrasi terhadap sel bakteri inangnya.

Bakteriofage dapat dikelompokkam ke dalam enam tipe morfologis, diantaranya adalah:
a.       Tipe A: tipe yang paling rumit ini mempunyai kepala heksagonal, ekor yang kaku dengan seludang kontraktil dan serabut ekor.
b.      Tipe B: serupa dengan tipe A, tipe ini memiliki kepala heksagonal , tetapi tidak mempunyai seludang kontraktil. Ekornya kaku, dan mengenai serabut ekor, ada yang mempunyai dan ada yang tidak.
c.       Tipe C: tipe ini dicirikan oleh sebuah kepala heksagonal dan sebuah ekor yang lebih pendek daripada kepalanya. Ekornya tidak mempunyai seludang kontraktil, dan mengenai serabut ekor, ada yang mempunyai dan ada yang tidak.
d.      Tipe D: tipe ini mempunyai sebuah kepala tanpa ekor, dan kepalanya tersusun dari kapsomer-kapsomer besar.
e.       Tipe E: tipe ini mempunyai sebuah kepal tanpa ekor, dan kepalanya tersusun dari kapsomer-kapsomer kecil.
f.       Tipe F: tipe ini berbentuk filamen.
Tipe A, B, dan C menujukkan morfologi yang unik bagi bakteriofage. Tipe-tipe morfologis D dan E dijumpai pula pada virus tumbuhan dan virus hewan. Bentuk yang seperti filament pada tipe F, dijumpai juga pada beberapa virus tumbuhan (Pelczar, et al. 2005).
2.5.2  Isolasi dan Kultivasi Bakteriofage
Virus bakterial tersebar luas di alam. Kebanyakan bakteri, meskipun tidak semuanya, memiliki bakteriofage sebagai parasitnya. Dengan tehnik yang sesuai, bakteriofage ini dapat diisolasi dengan mudah di laboratorium. Bakteriofage mudah diisolasi dan dan dikultivasi pada biakan bakteri yang muda dan sedang tumbuh aktif dalam kaldu atau cawan agar. Pada biakan yang cair, adanya bakteriofage yang melisis bakteri dapat dibuktikan dengan perubahan biakan dari keruh menjadi jernih. Sedangkan pada biakan agar cawan, hadirnya bakteriofage yang melisis bakteri ditunjukkan dengan adanya daerah-daerah yang jernih yang sering disebut plak (plaque).
Persyaratan utama bagi isolasi dan kultivasi bakteriofage adalah harus adanya kondisi optimum untuk pertumbuhan organisme inangnya. Sumber bakteriofage yang paling baik dan paling umum adalah habitat asli inangnya. Sebagai contoh, fagekoli atau fage-fage lain yang patogenik bagi bakteri lain yang dijumpai di dalam saluran pencernaan dapat diisolasi paling baik dari limbah toilet atau kotoran hewan langsung.
Kultivasinya sendiri dilakukan dengan sentrifugasi atau filtrasi bahan sumbernya, kemudian penambahan kloroform untuk membunuh sel-sel bakterinya. Sejumlah kecil (sekitar 0,1 ml) bahan ini kemudian dicampurkan dengan organisme inang dan disebarkan pada medium agar. Multiplikasi bakteriofage ditunjukkan dengan munculnya plak-plak pada lapisan bakteri inang yang dapat dilihat dengan mata telanjang. Setiap plak dianggap sebagai satu virus, sehingga konsentrasi suspense virus yang dihitung dari jumlah plak yang terbentuk disebut plaque forming unit (pelczar, et al. 2005).
2.5.3 Reproduksi bakteriofage
Virus tidak memiliki kelengkapan metabolik sendiri untuk perkembangbiakannya. Agar dapat berkembangbiak, virus harus menginfeksi sel inang terlebih dahulu. Jika berdasarkan cara perkembangbiakannya, secara garis besar ada dua tipe utama bakteriofage: litik atau virulen, dan lisogenik atau avirulen. Bila fage litik menginfeksi suatu sel bakteri, sel tersebut memberikan tanggapan dengan cara menghasilkan virus-virus baru dalam jumlah banyak, kemudian pada akhir masa inkubasinya, sel inang itu pecah atau mengalami lisis, melepaskan bakteriofage-bakteriofage baru yang bisa menginfeksi sel inang yang lainnya. Daurnya ini disebut daur litik. Adapun penjelasan spesifik dari daur litik dan lisogenik adalah sebagai berikut.
a.       Daur litik
Secara garis  besar, daur litik memiliki beberapa tahapan yang dapat dibedakan dengan jelas. Tahapan-tahapan yang dimaksud adalah adsorpsi, penetrasi, replikasi, prakitan dan pematangan, serta lisis atau pembebasan. Penjelasan masing-masing tahap adalah sebagai berikut:
1)      Adsorpsi
Adsorpsi merupakan interaksi spesifik antara virus dan bakteri inang. Pada sat ini, ujung ekor virus melekat pada dinding sel. Terdapat reseptor khusus yang memperantarai pengenalan virus oleh sel inang. Ligan pada virus yang kemudian menempel pada reseptor sel inang dapat berupa fili, flagella, komponen membrane, ataupun protein pengikat pada bakteriofage.
2)      Penetrasi
Penetrasi yang sesungguhnya oleh fage ke dalam sel inang bersifat mekanis, tetapi kadang-kadang dipermudah dengan bantuan enzim lisozim, yang dibawa pada ekor bakteriofage, yang fungsinya mencernakan dinding sel bakteri inang. Penetrasi terjadi apabila: (a) serabut ekor virus melekat pada sel dan ekor terikat erat pada dinding sel; (b) seludang sel .berkontraksi, mendorong inti ekor ke dalam sel melalui dinding sel dan membran sel; (c) bakteriofage menyuntikkan asam nukleatnya, seludang proteinnya membentuk kepala fage sementara struktur ekor virus tetap tertinggal di luar sel inang.
3)      Replikasi
Segera setelah injeksi asam nukleat virus ke dalam sel inang, asam nukleat itu mengambil alih fungsi dna bakteri dalam melakukan sintesis protein. Menyebabkan sintesis protein itu menghasilkan asam nukleat virus ketimbang asam nukleat bakteri. Asam nukleat virus mengadakan replikasi dengan menggunakan bahan-bahan dari sitoplasma sel inang.
4)      Perakitan dan Pematangan
Setiap untai asam nukleat hasil replikasi, akan membentuk bagian-bagian tubuh bakteriofage baru, yang jumlahnya dapat mencapai ratusan pada setiap sel inangnya. Pada virus DNA, perakitan berlangsung di dalam nukleus. Sedangkan pada virus RNA, perakitan berlangsung di dalam sitoplasma sel inang.
5)      Lisis
Setelah membentuk bakteriofage baru, sel bakteri akan pecah melepaskan bakteriofage-bakteriofage baru untuk menginfeksi bakteri-bakteri lain dan memulai lagi daur litik (Pelczar, et al. 2005).
b.      Daur Lisogenik
Tidak semua infeksi sel bakteri oleh virus berakhir dengan lisis. Tahapan daur lisogenik pada prinsipnya tidak jauh berbeda dengan daur litik. Pada daur lisogenik, DNA bakteriofage tidak mengambil alih fungsi DNA bakteri inang, tetapi menjadi tergabung ke dalam kromosom bakteri. DNA bakteriofage di dalam kromosom ini disebut profage. DNA bakteriofage tersebut bersifat laten atau tidak aktif membelah. Pada daur lisogenik ini, bakteri inang bermetabolisme dan berkembangbiak secara normal, dengan DNA virus tetap diteruskan ke setiap sel anak pada generasi berikutnya.
Infeksi suatu bakteri oleh bakteriofage lisogenik dapat dikenali oleh fakta bahwa bakteri itu resisten terhadap infeksi oleh virus yang sama atau minimal sekerabat, atau bila bakteri itu sengaja diinduksi untuk menghasilkan bakteriofage.
Suatu perubahan dari keadaan lisogenik menjadi keadaan litik kadang-kadang dapat diinduksi oleh iradiasi sinar uv atau zat-zat kimia tertentu. DNA bakteriofage yang mulanya tenang dapat menjadi aktif dan meninggalkan kromosom bakteri, kemudian membentuk komponen-komponen tubuh bakteriofage seperti pada daur litik. Dengan terbentuknya bakteriofage di dalam sel bakteri, sel bakteri inang ini dapat menjadi lisis dan daur litik mulai terjadi lagi (Pelczar, et al. 2005).
2.6 Prion
Prion (protein infec­tious particle atau partikel protein infektif) hanya merupakan protein asing, tanpa asam nukleat, yang mampu menimbulkan penyakit terutama penyakit saraf pada hewan dan manusia. Kata prion menggambarkan suatu jenis protein yang dapat berubah dari protein “normal” menjadi “protein prion”
Hadiah Nobel bidang kedokteran pada 1997 dimenangkan oleh Stanley B.Prusner yang menemukan prion. Sebelumnya, jasad renik penyebab penyakit yang diketahui adalah parasit, bakteri dan virus. Dengan ditemukannya prion maka bertambahlah pembendaharaan penyebab penyakit dan terbukalah tabir rahasia beberapa jenis penyakit yang telah ditemukan bertahun-tahun lalu, seperti Scrapie pada domba (1730), penyakit sapi gila (1982) dan CJD pada manusia (1920) dan lain-lain. Karena penyakit prion dapat ditularkan dari hewan ke manusia, penyakit ini pun diklasifikasikan sebagai penyakit zoonis.
Prion tahan terhadap proses-proses denaturasi protein normal seperti penggunaan enzim protease, pemanasan, radiasi, desinfektan dan perendaman dengan formalin. Protein dalam bentuk normal yang mempunyai struktur seperti prion banyak terdapat di dalam tubuh makhluk hidup, protein ini disebut Prion related Protein (PrP). PrP yang telah menjadi abnormal (prion) dapat menimbulkan penyakit pada makhluk hidup tersebut.
Pasca penemuan Prion oleh ahli Biologi Amerika Serikat, Stanley Prusiner tahun 1997 telah membuka kebuntuan atagnasi sains selama 60 tahun lebih, yang selama ini menganggap virus sebagai makhluk paling kecil di dunia. Virus dengan ukuran rata-rata 0,02-0.03 mikro meter ternyata masih lebih kecil dari dua hasil penemuan Stanley yaitu viroid dan prion. Ukuran jenis viroid lebih kecil dari virus, tetapi prion masih lebih kecil lagi dibandingkan viroid yaitu sekitar 200 x 20 mm dan hanya bisa dilihat dengan mikroskop elektron. Namun viroid dan prion ini mempunyai sifat yang sama dengan virus yaitu sama-sama pathogen pada makhluk hidup lain seperti manusia, hewan dan tumbuhan.
Aktivitas prion dapat dirusak oleh enzim protease tetapi aktivitas prion tidak terpengaruh oleh DNAase atau RNAase. Prion ini tidak resisten terhadap cara-cara inaktivasi standar, tetapi resisten terhadap pengobatan dengan formaldehid, β-propiolakton, etanol, protease, deoksikolat, dan radiasi ionisasi. Namun, prion peka terhadap fenol (90%), eter, aseton, detergen kuat (natrium dodesil sulfat 10%), desinfektan yodium, dan autoklaf.
Protein ini biasanya harus diterjemahkan oleh asam nukleat. Tentu saja hal ini dapat ditemukan pada sel inang yang berisi gen pada salah satu kromosomnya yang diterjemahkan sebagai protein yang sangat mirip dengan protein prion. Protein inang dapat berproduksi secara normal dan protein ini dapat banyak ditemukan di neuron. Pada kenyataannya, prion yang baru datang atau masuk akan mengubah protein inang tersebut, bisa pada saat sintesis maupun sesudah sintesis. Perubahan yang terjadi pada protein inang meliputi bagian dari lipatan-lipatan alternative dan menyebabkan protein kehilangan fungsi normalnya, sebagian menjadi resisten atau menolak protease dan menjadi sangat sulit untuk dipecah. Oleh karena itu prion tidak dapat dengan mudah merusak enzim-enzim pada inangnya, tetapi pada beberapa kasus prion dapat menyebabkan gen inang normal memproduksi lebih banyak salinan (copy) dari protein patogen sendiri.
2.6.1 Struktur Prion
Struktur dan replikasi protein prion sangat penting dalam mempelajari penyakit kuru dan lainnya.Walaupun detail mengenai konfigurasi prion awalnya belum jelas, tetapi Prusher telah mampu mengajukan tiga hipotesisnya yang meliputi:
1.         Protein yang mengelilingi asam nukleat yang dapat menterjemahkan (menyandi) protein (dari virus)
2.         Protein yang melekat (terkait) dengan polinukleotida kecil
3.         Protein tanpa asam nukleat
Setelah publikasi dari artikel milik Prusher, ribuan ilmuan mulai mencoba untuk mencari teka-teki mengenai prion. Ekstrak dari infeksi scrapie pada oak dapat terjadi melalui ionisasi utraviolet dan radiasi. Dengan perawatan (perlakuan) yang seperti biasa dapat menghancurkan asam nukleat, tetapi jaringannya tetap berbahaya dan dapat menular. Prushiner menyimpulkan bahwa agen yang menyebabkan penyakit scrapie memang nukleotida bebas, seperti protein, ini berarti prion tidak mengandung RNA atau DNA. Hal ini mematahkan hipotesis Prushier yang pertama yang menyatakan bahwa prion mungkin virus. Selanjutnya prion tidak aktif oleh perlakuan yang ekstrim yang dapat merusak atau mengubah sifat protein, seperti chaotropic ion atau detergen kuat.
Prion memiliki bentuk ekstaseluler yang nyata, tetapi bentuk tersebut nampaknya tersusun dari protein. Prion tidak sedikitpun mengandung asam nukleat atau apabila ada molekulnya tidak cukup panjang untuk menterjemahkan satu jenis protein yang disusun oleh prion. Pada sejumlah penyakit serius, infeksi prion menyebabkan produksi salinan yang lebih banyak dari protein prion. Asam nekleat yang sama dan urutan asam amino akan dapat menghasilkan dua protein yang berbeda. Studi lebih lanjut menunjukkan perbedaan struktural antara protein prion normal PrPC (Prion Protein Celluler) dengan protein prion abnormal PrPSc (Prion Protein Scrapie). PrPC mempunyai 4 bagian alpha helix pada bentuk aslinya. Pemicu pada proses pengubahan merupakan penyusunan kembali dari sedikitnya dua bagian PrPC menjadi bentuk antipararel β-pleated sheet. Protein normal (PrPC) larut dalam detergen kuat (yang tidak merubah sifat) dan mudah rusak oleh enzim protease,  tetapi PrPSc tidak larut dan sebagian resisten terhadap protease. PrPSc dapat bertahan pada keadaan asam atau keadaan dasar (biasa), karena memiliki pH yang stabil antara 2 dan 10 dan dapat bertahan selama dua tahun dalam desinfektan yodium. Berikut ini merupakan gambar perbandingan struktur antara molekul PrPC dengan PrPSc.


2.6.2 Replikasi Prion
Para ilmuan percaya bahwa replikasi prion hampir mirip dengan duplikasi pada virus. Mekanisme replikasi meliputi sintesis polipeptida tanpa asam nukleat tempelate dan perubahan post-translational (tempat untuk menerjemahkan) protein selular. Polipeptida merupakan rantai dari asam amino dan asam nukleat tempelate yang merupakan kumpulan dari molekul DNA dan RNA yang mengandung/ membawa informasi untuk mengatur fungsi selular.
Pada prion, replikasi meliputi perubahan konvensional protein-protein menjadi prion. Replikasi prion terjadi melalui perekrutan prion protein normal dan “mengubahnya” menjadi prion yang berbahaya dan menjadi bentuk yang dapat terus menginfeksi sel-sel lain dan hewan. Perubahan inilah yang memacu terjadinya reaksi berantai, yaitu dengan menempel dan mengubah prion protein lain yang mereka temui dimana kontak antara prion patogen dengan prion normal terjadi pada interior masing-masing membran sel. Pada kultur sel, konversi prion ini terjadi didalam neuron. PrPSc  terakumulasi di lisosom dan akhirnya memenuhi lisosom sampai jumlahnya meledak, sehingga prion dapat lepas dan menyerang sel lain.
Berdasarkan hal-hal diatas prion dapat dikatakan merupakan bentuk yang salah-lipat dari suatu protein yang biasanya terdapat di sel otak. Ketika prion memasuki sel mengandung protein normal, prion tersebut mengubah protein normal menjadi versi prion. Ketika suatu prion mengalami kontak dengan “kembarannya” yang normal, ia dapat menginduksi protein normal tersebut, sehingga protein normal tersebut menjadi abnormal.
Reaksi berantai yang dihasilkan dapat berlanjut terus sampai prion berakumulasi pada jumlah yang membahayakan, menyebabkan malfungsi seluler dan pada akhirnya menyebabkan terjadinya degenerasi otak.
2.6.3 Penyakit-Penyakit yang Disebabkan oleh Prion
Prion menyebabkan berbagai penyakit degenerasi seperti kuru, scrapie, Creutzfeldt-Jakob disease (vCJD), dan bovine spongiform encephalopathy (BSE atau sapi gila). Semua penyakit ini menyerang otak atau sistem syaraf lainnya, mematikan dan belum dapat disembuhkan. Namun sebuah vaksin telah dikembangkan untuk tikus dan sedang dikembangkan lebih lanjut untuk manusia. Penularan penyakit ini dari manusia ke manusia, melaui jalur infeksi antara lain praktek kanibalisme (memakan otak manusia penderita) seperti pada penyakit kuru di Papua New Guinea; jalur latrogenik (menggunkan produk biologis) seperti transplantasi kornea, gel lipstik, kosmetik, kapsul, pasenta untuk meremajakan kulit dan penggunaan elektroda terkontaminasi (deep insertion) pada EEG, alat-alat nekropsi yang terkontaminasi, hormon pituitari (hormon dibuat dan berasal dari cadaver penderita), transfusi darah dan produk asal darah (disebabkan oleh nvCJD/newform varian) dan terakhir secara genetik/herediter (secara statistik insidens terjadinya penyakit adalah 1 per sejuta penduduk). Adapun penyakit-penyakit yang disebabkan oleh prion dijelaskan sebagai berikut:
a)   Kuru
Kuru adalah penyakit prion yang menyebabkan merosotnya fungsi mental yang cepat dan kehilangan koordinasi otot. Penyakit ini terjadi pada penduduk asli Fore pada dataran Papua Nugini dan berhubungan dengan ritual kanibalisme. Kuru merupakan penyakit yang jarang terjadi. Kuru disebabkan oleh protein infeksius (prion) yang terdapat pada jaringan otak manusia yang terkontaminasi.
Kuru ditemukan pada penduduk Papua Nugini yang melakukan kanibalisme, dimana mereka memakan otak orang yang sudah meninggal sebagai bagaian dari ritual pemakamam. Praktek ini sudah dihentikan sejak tahun 1960, tetapi penyakit kuru masih dilaporkan sampai tahun-tahun sesudahnya karena penyakit ini memiliki masa inkubasi yang lama. Kuru menyebabkan perubahan pada otak dan sistem saraf seperti pada penyakit Creutzeldt-Jakob. Faktor resiko penyakit kuru adalah memakan jaringan otak manusia yang terinfeksi. Kuru lebih sering terjadi pada wanita dan anak-anak karena mereka mendapatkan bagian otak untuk dimakan.
b)   Bovine Spongiform Encephalopathy (BSE atau sapi gila)
Penyakit sapi gila (Bovine Spongiform Encephalopathy/BSE) adalah penyakit yang disebabkan oleh bahan infeksius yang baru dikenal dan disebut prion.   BSE termasuk salah satu penyakit yg tergolong dalam Transmissible Spongiform Encephalopathy (TSE) yaitu penyakit yang menyerang susunan syaraf pusat dengan gejala histopatologik utama adanya degenerasi spongiosus atau terbentuknya lubang-lubang kosong di dalam sel-sel otak, dapat menular kepada manusia dan menyebabkan penyakit yang dalam istilah kedokteran disebut Subacute Spongiform Encephalopathy (SSE). Penyakit ini disebabkan oleh suatu jenis protein (tanpa asam nukleat) yang bersifat infeksius yaitu prion (Proteinaceous Infectious). Secara normal, protein prion dihasilkan oleh tubuh (disingkat PrPc/cellular PrP), sedangkan isoform dari protein prion yang infeksius penyebab TSE disebut Prion Protein Scrapie (PrPSc), adapun bentuk PrPc dan PrPSc sama, bobot molekul sama, sekuensnya juga sama. Perbedaan yang paling menonjol dari kedua protein prion tersebut adalah bahwa PrPSc (bcid) tahan terhadap Proteinase K suatu enzim yang dapat mendegradasi protein, sedangkan PrPc-helix) tidak tahan.
Penyakit BSE ini dikelompokkan dalam satu kelompok dengan penyakit Creutzfeldt-Jakob Disease (CJD) pada manusia dan Scrapie pada domba dan kambing yang biasanya disebut Transmissible Spongiform Encephalopathies (TSEs). Secara eksperimental, BSE dapat ditransmisikan ke mencit, domba, babi, sapi, monyet, mink, dan marmoset. Diduga penyebab adanya prion ini adalah penggunaan meat bone meal pada pakan sapi.
BSE menyerang sapi berumur tiga sampai lima tahun dengan gejala penurunan produksi susu, gemetar/kejang-kejang dan TSE (Transmissible Encephalopathy) dibagi menjadi tiga faseyakni  fase I yaitu level infeksi yang sangat rendah, fase II yaitu peningkatan konsentrasi prion di otak, sumsum tulang (inkubasi 6 bulan) dan fase III yaitu kematian pada manusia dengan inkubasi 20 bulan sampai 16 tahun.
Belakangan diketahui bahwa scrapie PrP terbentuk dari konversi PrP normal di dalam neuron. Scrapie PrP yang terbentuk terakumulasi di dalam lisosom. Di dalam otak lisosom yang telah dipenuhi oleh Scrapie PrP ini kemudian pecah dan merusak sel. Sel yang telah mati akibat pecahnya lisosom ini akan membentuk lobang-lobang dalam otak, prionnya akan dikeluar dan menyerang sel yang lain. Inilah yang terjadi pada penyakit sapi gila di Inggris dan di Jepang.









2 komentar: