2.1
Karakteristik dan Struktur Virus
2.1.1 Karakteristik Virus
Virus
adalah mikroorganisme yang sedemikian kecilnya sehingga hanya dapat dilihat
dengan bantuan mikroskop elektron. Virus bahkan dapat lolos melewati pori-pori
saringan yang tidak memungkinkan lewatnya bakteri. Ukuran virus diketahui
berkisar antara 20-14.000 nm. Virus juga hanya dapat memperbanyak diri di dalam
sel-sel organisme lain, baik itu mikroorganisme, protozoa, hewan, maupun
tumbuhan. Karena alasan inilah mereka kemudian disebut parasit intraseluler obligat.
Virus
sangat bergantung kepada sel-sel inangnya untuk bereproduksi. Terutama karena
tidak mempunyai perlengkapan metabolik sendiri, sehingga virus tidak mampu
membangkitkan energy atau mensintesis protein. Kisaran inang virus sangat luas,
meliputi bakteri, fungi, protista, hewan, dan tumbuhan.
Satu
hal yang membuat virus dianggap sebagai makhluk hidup adalah karena virus
memiliki informasi genetis untuk bereproduksi dan mengambil alih sistem
pembangkit energy inangnya. Bahan genetic virus adalah DNA atau RNA, namun
sejauh ini belum ada ditemukan virus yang memiliki DNA dan RNA sekaligus.
Materi genetik ini dikemas di dalam selubung protein yang dikenal sebagai kapsid. Selubung ini berfungsi
melindungi materi genetic virus ketika berada di luar sel (Pelczar, et al. 2005).
2.1.2 Struktur Virus
Struktur
dasar yang dimiliki virus adalah materi genetiknya berupa asam nukleat DNA atau
RNA, serta selubung protein atau yang lebih dikenal dengan kapsid. Kadang-kadang virus tertutup oleh envelope, yaitu suatu struktur yang
tersusun atas lipid, protein, dan karbohidrat yang mengelilingi asam nukleat
virus.
Asam
nukleat virus berupa DNA atau RNA, beruntai tunggal / single strain (ss) ataupun beruntai ganda / double strain (ds). Asam nukleat virus dapat berbentuk linear
ataupun sirkuler. Pada beberapa virus, contohnya virus influenza., asam
nukleatnya berupa segmen-segmen yang terpisah.
Kapsid
adalah susunan protein yang mengelilingi asam nukleat virus. Struktur kapsid
sangat ditentukan oleh asam nukleat virus. Kapsid tersusun atas subunit-subunit
morfologis yang disebut kapsomer.
Kapsomer sendiri terdiri dari sejumlah subunit protein yang disebut protomer.
Pada
beberap virus, kapsid ditutupi oleh sampul
atau envelope. Sampul umumnya terdiri dari kombinasi antara lipid (mayoritas),
protein, dan karbohidrat. Karena komposisi penyusunnya ini, virus berenvelope
bersifat sensitive terhadap zat yang dapat melarutkan membran lipid, misalnya
eter. Sampul dapat ditutupi oleh struktur serupa paku (spike) yang merupakan kompleks karbohidrat dan protein. Spike dapat berperan pada proses
perlekatan virus pada sel inang. Virus dengan kapsid yang tidak tertutupi oleh
sampul disebut virus telanjang (non-enveloped
virus). Pada virus ini, kapsid melindungi asam nukleat virus dari enzim
nuklease sel inang dan mendukung perlekatan virus pada ssel inang yang peka
(Pratiwi, 2008).
2.1.3 Morfologi Umum Virus
Virus
memiliki beberapa bentuk morfologi berdasarkan arsitektur kapsidnya.
Berdasarkan hal itu, morfologi virus dibedakan menjadi:
a. Virus
Heliks
Kapsid menyerupai
bentuk batang yang memanjang, ada yang menyambung pada bagian ujung-ujungnya,
dan ada pula yang terputus atau terbuka pada bagian ujung-ujungnya. Kapsid
dapat bersifat kaku ataupun fleksibel. Asam nukleat virus ditemukan di dalam
lekuk kapsid silindris. Contoh dari virus yang memiliki morvologi ini adalah
Virus Rabies dan Virus Ebola.
b. Virus
Polihedral
Kapsid berbentuk
ikosahedron, yaitu polihedron regular dengan 20 permukaan triangular dan 20
sudut. Kapsomer di setiap permukaan berbentuk segitiga sama sisi. Contoh dari
vierus bermorvologi ini adalah Adenovirus dan Poliovirus.
c. Virus
Bersampul (enveloped)
Morvologi virus ini
sebenarnya didasarkan pada keberadaan sampul atau envelope nya. Sementara
arsitektur kapsidnya sendiri tetap hanya dua tipe diatas, yaitu polihedral dan
heliks. Bila virus heliks memiliki sampul, maka disebut virus heliks bersampul
(enveloped helical virus). Sementara
bila virus polihedral memiliki sampul, disebut virus polihedral bersampul (enveloped polyhedral virus). Contoh dari
virus ini masing-masing adalah: Virus Influenza (heliks bersampul), Virus
Herpes Simpleks (polihedral bersampul).
d. Virus
Kompleks
Morvologi virus
dikatakan kompleks apabila dia memiliki bentuk struktur yang tidak jelas, atau
susah dikategorikan berbentuk heliks atau polihedral. Contohnya adalah
Bakteriofag, kapsidnya berbentuk polihedral, dengan ekor berbentuk heliks.
Contoh lain adalah Poxvirus, kapsidnya tidak terlihat dengan jelas, namun
diketahui terdapat selubung protein yang mengelilingi asam nukleat virus
tersebut. (Pratiwi, 2008).
2.2 Klasifikasi virus
Pengklasifikasian virus dalam bentuk taksonomi
memiliki banyak kesulitan jika dibandingkan dengan kehidupan tingkat tinggi.
Namun pada tahun 1966, para virologis berhasil membentuk suatau badan
Internasional untuk taksonomi virus (International Committee on the Taxonomy of
Viruses atau ICTV). Dalam hal ini, mereka menyepakati untuk menempatkan virus
pada tiga tingkat takson, yaitu famili, genus, dan spesies.
Nama famili virus ditandai dengan akhiran viridae.
Dalam penulisan secara taksonomi, nama famili virus ditulis dengan huruf
kapital awal dan garis bawah atau cetak miring. Sementara itu, nama genus virus
ditandai dengan akhiran virus. Cara penulisan nama genus sama dengan cara
penulisan nama famili. Khusus untuk spesies, pemberian nama spesies virus tidak
berpedoman pada tata nama sistem binomial. Dalam hal ini, nama virus ditulis
dalam bahasa Inggris (bukan bahasa latin) dan tidak menggunakan kapital awal,
garis bawah, atau cetak miring. Misalnya, polio virus (untuk virus polio) dan
herpes simplex virus (untuk virus herpes).
Berikut ini diberikan dua contoh penulisan virus dari
tingkat takson famili, genus dan spesies.
Famili : Picornaviridae Famili : Herpesviridae
Genus : Enterovirus Genus : Herpesvirus
Spesies: poliovirus Spesies:
herpes simplex virus
Dalam mengklasifikasikan virus, para ahli menggunkan
beberapa pendekatan. Sebagaian ahli mengklasifikasikan virus berdasarka jenis
sel inang dan jenis materi genetik. Sebagian ahli lain melakukannya dengan cara
yang lebih lengkap. Terutama terhadap virus yang menginfeksi hewan. Dalam hal
ini, mereka mengklasifikasikan virus berdasarkan tipe asam nukleat (materi
genetik), simetri kapsid, ada tidaknya kapsid, ukuran virus, dan jumlah
kapsomer.
2.2.1 Klasifikasi Virus Berdasarkan Sel Inang
Berdasarkan jenis sel inangnya, virus dapat diklasifikasikan
atas virus hewan, virus tumbuhan dan virus bakteri.
a)
Virus
Hewan
Virus hewan merupakan virus yang menginfeksi sel hewan
atau manusia. Contohnya: rhabdovirus, roussarcoma virus (RSV), dan new castle
disease virus (VCDV) pada hewan dan herpes simplex virus (HSV), influenza
virus, serta human immunodeficiency virus (HIV) pada manusia.
b)
Virus
Tumbuhan
Virus tumbuhan merupakan virus yang menginfeksi sel
tumbuhan. Contohnya: tungro virus, citrus vein phloem degeneration (CPVD), dan
tobacco mosaic virus (TMV)
c)
Virus
Bakteri
Virus bakteri merupakan virus yang menginfeksi sel
bakteri. Contohnya: bakteriofage atau fage
2.2.2 Klasifikasi Virus Berdasarkan Jenis Materi
Genetik dan Cara Repoduksi
Berdasarkan jenis
materi genetik dan cara reproduksinya, virus dibedakan atas beberapa kelas
(kelompok). Cara pengklasifikasian demikian dikenal juga sebagai klasifikasi Baltimore (nama orang yang
pertama kali memperkenalkannya).
Menurut Baltimore, virus-virus yang tergolong pada
kelas I sampai Kelas V melakukan reproduksi secara replikasi, sedangkan virus
kelas VI dan VII melakukannya secara transkripsi balik. Pada proses transkripsi
balik, virus menggunkan ARN sebagai model cetakan (blue print) untuk membentuk
AND. Selanjutnya, AND yang terbentuk digunakan untuk membentuk ARN virus baru.
2.3
Virus
Tumbuhan
Virus tumbuhan disusun oleh asam nukleat (RNA atau DNA)
berantai tunggal yang juga berfungsi sebagai genom virus. Genom virus itu
dibungkus oleh protein selubung atau dikenal juga dengan istilah kapsid. Kapsid terbentuk dari banyak subunit protein yang disebut kapsomer. Beberapa
jenis virus juga diselubungi molekul gabungan antara lemak dan protein yang
disebut lipoprotein sebagai mantel (coat). Genom virus
terdiri atas satu atau lebih molekul asam nukleat yang dibungkus protein
selubung. Gabungan antara asam nukleat dan protein selubung disebut virion atau dikenal dengan istilah
nukleokapsid.
Asam nukleat
Asam nukleat yang
menjadi genom virus tumbuhan sebagian besar merupakan molekul ssRNA. Namun ada
beberapa mempunyai genom dsDNA, ssDNA, dan dsRNA. Asam nukelat (DNA atau RNA)
terdiri atas rantai polinukleotida yang masing-masing nukleotidanya dihubungkan
oleh ikatan fosfodiester. Genom merupakan molekul yang berperan dalam
perkembangan organisme, termasuk virus yang terdapat pada garis pembatas antara
benda hidup dan mati. Genom virus tersusun atas gen yang menyandi protein yang
diperlukan oleh virus untuk replikasi dan menginfeksi sel inang. Dapat dilihat
pada virus TMV yaitu strain S yang virulen dan menimbulkan gejala mozaik
sistemik serta strain HR yang avirulen dan menimbulkan gejala hipersensitif
pada tanaman tembakau.
2.3.1 Tahapan Infeksi Virus Tumbuhan
Terdapat beberapa tahapan infeksi virus
tanaman yang dicontohkan pada virus Tobacco Mozaik yakni:
a. Inokulasi
Tahap
ini merupakan tahap kontak pertama antara patogen dan tanaman. Bagian dari
patogen atau patogen yang terbawa agen tertentu yang mengadakan kontak dengan
tanaman disebut inokulum. Dengan demikian inokulum
merupakan bagian dari patogen atau patogen itu sendiri yang dapat menyebabkan
penyakit pada tanaman. Inokulum patogen sampai ke permukaan tubuh tanaman inang
melalui perantaraan angin, air, serangga dan sebagainya.
b. Penetrasi
Merupakan
proses masuknya patogen atau bagian dari patogen ke dalam sel, jaringan atau
tubuh tanaman inang. Terdapat patogen yang dapat melakukan penetrasi melalui
beberapa macam cara dan ada pula yang hanya dapat melakukan penetrasi melalui
satu macam cara saja. Sering patogen melakukan penetrasi terhadap sel-sel
tanaman yang tidak rentan sehingga patogen tidak mampu melakukan proses
selanjutnya atau bahkan patogen mati tanpa menyebabkan tanaman menjadi sakit.
Patogen melakukan penetrasi dari permukaan tanaman ke dalam sel, jaringan atau
tubuh tanaman inang melalui empat macam cara sebagai berikut:
·
Secara langsung menembus permukaan tubuh tanaman
·
Melalui lubang-lubang alami
·
Melalui luka
·
Melalui perantara (vektor)
Proses penetrasi partikel virus pada
tanaman inang tembakau (TMV) selama inokulasi secara manual pada daun yakni:
·
Masuknya virus secara langsung yang dapat melalui luka
(kerusakan mekanik) terkait pada tanaman tidak terdapat reseptor virus,
sehingga penetrasi berlangsung dengan adanya vektor.
·
Perlekatan virus partikel dengan membrane sel dan
bagian partikel virus atau RNA virus ke sel
·
Perjalanan virus tersebut melalui dinding sel dengan
via ektodesma atau “bleb”. Dinding tersebut berperan sebagai barrier tambahan
untuk membrane sel.
·
Perlekatan partikel virus pada membrane sel dan masuk
setelah invaginasi membrane dan pembentukan vesikel endositosik
·
Perlekatan partikel virus pada
dinding sel luar dan bagian dari RNA virus ke
dalam sel melalui dinding.
c. Infeksi
Merupakan
suatu proses dimulainya patogen yang memanfaatkan nutrien dari tanaman inang.
Proses ini terjadi setelah patogen melakukan kontak secara langsung dengan
sel-sel atau jaringan rentan dan mendapatkan nutrien dari sel-sel atau jaringan
tersebut. Infeksi yang terjadi pada tanaman inang, akan menghasilkan gejala
penyakit yang tampak dari luar (symptom) seperti: menguning, berubah bentuk
(malformasi), atau bercak (nekrotik). Beberapa proses infeksi dapat bersifat
laten atau tidak menimbulkan gejala yang tampak mata, akan tetapi pada saat
keadaan lingkungan lebih sesuai untuk pertumbuhan patogen atau pada tingkat
pertumbuhan tanaman selanjutnya, patogen akan melanjutkan pertumbuhannya,
sehingga tanaman menampakan gejala sakit. Selama proses infeksi, patogen akan
tumbuh dan berkembang di dalam jaringan tanaman. Pada infeksi virus tumbuhan
terdiri atas tahapan penyebaran virus
Penyebaran
virus
Virus tanaman
menginvasi dan menginfeksi jaringan baru di dalam tubuh tanaman inang dengan
jalan menghasilkan keturunan (individu-individu patogen) dalam jaringan yang
terinfeksi. Keturunan patogen ini kemudian akan terpindah secara pasif ke dalam
sel-sel jaringan lain melalui 2 mekanisme yakni:
1) Cell-to-cell movement
Merupakan
pergerakan virus dari satu sel ke sel lain dengan jarak yang dekat yaitu 1 mm/hari
(8-10 sel) pada tanaman sebagai inangnya melalui plasmodesmata yang sebagian
besar bergerak dari satu sel ke sel lain sebagai protein non-struktural komplek
dan genom RNA. Pergerakan tersebut difasilitasi oleh protein movement
protein (MP). Secara umum, mekanisme Cell-to-cell movement virus
dapat terjadi melalui mekanisme pada gambar berikut:
Berdasarkan
pada gambar di atas, dapat diketahui secara jelas mekanisme cell-to-cell
movement virus yang meliputi rangkaian proses antara lain (1) MP (Movement
Protein) berikatan dengan RNA virus dan membentuk MP komplek; (2) Protein
inang dan protein virus dimungkinkan berada di MP komplek; (3) MP komplek
bergerak dari sel-sel yang berdekatan melalui plasmodesmata; (4) Di dalam sel
yang baru RNA virus dilepaskan dari MP komplek; (5) Kemudian RNA virus ditranslasi
pada ribosom inang dan siklus replikasi berulang. Namun, pergerakan tersebut
dapat bervariasi sesuai jenis virusnya. Pada TMV (Tobacco Mosaic Virus) pergerakan melalui plasmodesmata
dalam mekanisme pergerakannya tidak membutuhkan coat protein (CP).
Protein movement (MP) komplek dengan RNA virus bergerak di
sepanjang mikrotubulus dari RE yang berhubungan dengan situs
replikasi virus, MP-RNA komplek ke
situs adesi dinding sel putatif dan plasmodesmata. Virus RNA
tanaman menggunakan protein nonstruktural mereka untuk
menargetkan dan bergerak melalui
kortikal retikulum endoplasma (ER) tubulus dalam
persimpangan antar tanaman untuk sel-sel menyebar.
Sebagian besar dari protein ini, termasuk triple-gen-blok
3 protein (TGBp3)
adalah protein membran ER. Adanya TGBp3 mengganggu
penyebaran virus, dan tanaman terinfeksi virus.
2) Long
distance movement in plant
Merupakan
pergerakan virus dengan jarak jauh dari keberadaan virus dalam tanaman sebagai
inangnya. Pergerakan tersebut berlangsung dengan cepat melalui pembuluh floem
tanaman inang.
a. Transmisi ke tanaman inang
lainnya
Merupakan
proses berpindahnya patogen atau inokulum dari sumbernya ke tanaman lain yang
dapat berperan sebagai inang. sehingga tanaman yang sehat dapat menjadi sakit.
Penyebaran patogen tersebut dapat terjadi secara aktif maupun pasif. Penyebaran
pasif yang berperan besar dalam menimbulkan penyakit, yaitu dengan perantaraan
angin, air, hewan (terutama serangga), dan manusia. Beberapa
patogen dapat melakukan penyebaran secara aktif, misalnya hewan arthropoda yang
dapat berperan sebagai vektor antara lain Aphids,
mites, whiteflies.
Struktur
virus hewan terdiri
atas:
·
Selubung dengan glikoprotein, yang
berfungsi sebagai selubung gabungan antara karbohidrat dan protein sehingga
disebut glikoproetein.
·
Kapsid, yang berfungsi sebagai protein
selubung yang melindungi genom virus.
·
Rantai RNA, yang berfungsi sebagai genom
virus.
2.3.1
Siklus
Reproduktif Virus Hewan
Siklus
reproduktif hewan merupakan siklus reproduktif dari suatu virus berselubung.
Siklus diawali dengan adanya gikoprotein yang menonjol keluar dari selubung
virus dapat mengenali dan kemudian mengikatkan diri pada molekul-molekul.
Selubung virus bergabung dengan membran plasma sel tersebut, serta kapsid dan
genom virus masuk ke dalam sel, enzim seluler memisahkan kapsid. Genom virus
berfungsi sebagai cetakan untuk membuat untai RNA komplementer yang memiliki
dua fungsi; berfungsi sebagai cetakan untuk membuat salinan yang baru dari RNA
genom dan berfungsi sebagai mRNA ini ditranslasi menjadi protein kapsid dan
glikoprotein untuk selubung virus. Rektikulum endoplasmik (RE) sel mensintesis
glikoprotein. Vesikula mengangkut glikoprotein ke membran plasma dari sel
tersebut. Kapsid disusun di sekeliling setiap molekul genom virus. Virus
bertunas dari sel yang selubungnya bertahtakan glikoprotein virus, berasal dari
membran plasma tersebut.
2.3.1
Penyakit
Virus yang Penting pada Hewan
Virus RNA
diklasifikasikan menurut untai RNA-nya dan bagaimana untai tersebut berfungsi
dalam sel inang. Perlu diperhatikan bahwa terdapat 3 tipe genom RNA untai
tunggal (kelas IV-V). Genom dari virus kelas IV dapat langsung bertindak
sebagai mRNA sehingga bisa ditranslasi secepatnya menjadi protein virus segera
setelah infeksi. Genom dari virus kelas V menunjukkan bahwa genom RNA berfungsi
sebagai cetakan (template) untuk
sintesis mRNA. Genoom RNA ditranskripsi menajdi sebuah untai RNA-komplementer
yang berfungsi sebagai mRNA dan sebagai cetakan untuk mensintesis salinan
tambahan dari RNA genom. Seperti semua virus yang membutuhkan sintesis
RNA----RNA untk membuat mRNA, virus ini juga menggunakan enzim virus yang
tersimpan di dalam kapsid bersama-sama dengan genom.
Penyakit
virus yang penting pada hewan salah satu
contohnya adalah virus HIV/AIDS. Virus HIV/AIDS merupakan retrovirus yang
merupakan virus RNA yang memiliki siklus reproduktif paling rumit. Terdapat
struktur tambahan dalam retrovirus ini yakni enzim transkriptase balik yang
berfungsi sebagai mentranskripsi DNA dari cetakan RNA memberikan arah aliran
informasi RNA--DNA.
Siklus reproduktif virus
HIV dimulai ketika genom masuk ke dalam sel inang ketika virus bergabung dengan
membran plasma dan protein kapsid dilepaskan secara enzimatik. Ensim transkriptase
balik mengkatalisis sintesis untai DNA yang berkomplementer dengan cetakan RNA
yang disediakan oleh genom virus dan kemudian sintesis dari untai DNA
komplementer. DNA untai ganda yang dihasilkan dimasukkan sebagai provirus ke
dalam genom sel inang. Gen-gen provirus ditranskripsi menjadi molekul-molekul
mRNA yang ditranslasi di dalam sitoplasma menjadi protein HIV. RNA yang
ditranskripsi dari provirus juga berfungsi sebagai genom generasi selanjutnya
dari virus. Penyusunan kapsid di sekitar genom diikuti oleh pertunasan
virus-virus baru dari sel inang.
2.5
Bakteriofage
2.5.1 Struktur dan Morfologi Bakteriofage
Bakteriofage
memiliki struktur berupa kepala dan ekor. Bagian kepala bakteriofage biasanya
berbentuk ikosahedral, yaitu
kapsidnya bersegi 20, masing-masing merupakan segitiga sama sisi. Keduapuluh
segi ini bersatu membentuk 12 puncak. Pada kapsid yang paling sederhana, ada
satu kapsomer pada setiap puncak, kapsomer ini dikelilingi oleh lima kapsomer
lainnya. Di bagian dalam kapsid yang berbentuk ikosahedral ini terdapat asam
nukleat virus.
Bagian ekor bakteriofage
juga merupakan modifikasi dari kapsid. Hanya bedanya, bagian ekor bakteriofage
tersusun atas kapsid yang berbentuk heliks atau batang. Di dalam kapsid
berbentuk batang ini juga terdapat asam nukleat virus. Selain kedua struktur
diatas, bakteriofage juga biasanya memiliki bagian leher, yaitu bagian yang
menghubungkan bagian kepala virus dengan bagian ekor virus. Di bagian ujung
ekor bakteriofage juga biasanya terdapat serabut ekor dan lempengan dasar yang
berisi duri ekor. Struktur di bagian ekor ini kelak akan berfungsi saat virus
melakukan penetrasi terhadap sel bakteri inangnya.
Bakteriofage
dapat dikelompokkam ke dalam enam tipe morfologis, diantaranya adalah:
a. Tipe
A: tipe yang paling rumit ini mempunyai kepala heksagonal, ekor yang kaku
dengan seludang kontraktil dan serabut ekor.
b. Tipe
B: serupa dengan tipe A, tipe ini memiliki kepala heksagonal , tetapi tidak
mempunyai seludang kontraktil. Ekornya kaku, dan mengenai serabut ekor, ada
yang mempunyai dan ada yang tidak.
c. Tipe
C: tipe ini dicirikan oleh sebuah kepala heksagonal dan sebuah ekor yang lebih
pendek daripada kepalanya. Ekornya tidak mempunyai seludang kontraktil, dan
mengenai serabut ekor, ada yang mempunyai dan ada yang tidak.
d. Tipe
D: tipe ini mempunyai sebuah kepala tanpa ekor, dan kepalanya tersusun dari
kapsomer-kapsomer besar.
e. Tipe
E: tipe ini mempunyai sebuah kepal tanpa ekor, dan kepalanya tersusun dari
kapsomer-kapsomer kecil.
f. Tipe
F: tipe ini berbentuk filamen.
Tipe
A, B, dan C menujukkan morfologi yang unik bagi bakteriofage. Tipe-tipe
morfologis D dan E dijumpai pula pada virus tumbuhan dan virus hewan. Bentuk
yang seperti filament pada tipe F, dijumpai juga pada beberapa virus tumbuhan (Pelczar,
et al. 2005).
2.5.2 Isolasi
dan Kultivasi Bakteriofage
Virus bakterial
tersebar luas di alam. Kebanyakan bakteri, meskipun tidak semuanya, memiliki
bakteriofage sebagai parasitnya. Dengan tehnik yang sesuai, bakteriofage ini
dapat diisolasi dengan mudah di laboratorium. Bakteriofage mudah diisolasi dan
dan dikultivasi pada biakan bakteri yang muda dan sedang tumbuh aktif dalam
kaldu atau cawan agar. Pada biakan yang cair, adanya bakteriofage yang melisis
bakteri dapat dibuktikan dengan perubahan biakan dari keruh menjadi jernih.
Sedangkan pada biakan agar cawan, hadirnya bakteriofage yang melisis bakteri
ditunjukkan dengan adanya daerah-daerah yang jernih yang sering disebut plak (plaque).
Persyaratan
utama bagi isolasi dan kultivasi bakteriofage adalah harus adanya kondisi
optimum untuk pertumbuhan organisme inangnya. Sumber bakteriofage yang paling
baik dan paling umum adalah habitat asli inangnya. Sebagai contoh, fagekoli
atau fage-fage lain yang patogenik bagi bakteri lain yang dijumpai di dalam
saluran pencernaan dapat diisolasi paling baik dari limbah toilet atau kotoran
hewan langsung.
Kultivasinya
sendiri dilakukan dengan sentrifugasi atau filtrasi bahan sumbernya, kemudian
penambahan kloroform untuk membunuh sel-sel bakterinya. Sejumlah kecil (sekitar
0,1 ml) bahan ini kemudian dicampurkan dengan organisme inang dan disebarkan
pada medium agar. Multiplikasi bakteriofage ditunjukkan dengan munculnya
plak-plak pada lapisan bakteri inang yang dapat dilihat dengan mata telanjang.
Setiap plak dianggap sebagai satu virus, sehingga konsentrasi suspense virus
yang dihitung dari jumlah plak yang terbentuk disebut plaque forming unit (pelczar, et
al. 2005).
2.5.3 Reproduksi bakteriofage
Virus
tidak memiliki kelengkapan metabolik sendiri untuk perkembangbiakannya. Agar
dapat berkembangbiak, virus harus menginfeksi sel inang terlebih dahulu. Jika
berdasarkan cara perkembangbiakannya, secara garis besar ada dua tipe utama
bakteriofage: litik atau virulen, dan lisogenik atau avirulen.
Bila fage litik menginfeksi suatu sel bakteri, sel tersebut memberikan
tanggapan dengan cara menghasilkan virus-virus baru dalam jumlah banyak,
kemudian pada akhir masa inkubasinya, sel inang itu pecah atau mengalami lisis,
melepaskan bakteriofage-bakteriofage baru yang bisa menginfeksi sel inang yang
lainnya. Daurnya ini disebut daur litik.
Adapun penjelasan spesifik dari daur litik dan lisogenik adalah sebagai
berikut.
a. Daur
litik
Secara garis besar, daur litik memiliki beberapa tahapan
yang dapat dibedakan dengan jelas. Tahapan-tahapan yang dimaksud adalah
adsorpsi, penetrasi, replikasi, prakitan dan pematangan, serta lisis atau
pembebasan. Penjelasan masing-masing tahap adalah sebagai berikut:
1) Adsorpsi
Adsorpsi merupakan
interaksi spesifik antara virus dan bakteri inang. Pada sat ini, ujung ekor
virus melekat pada dinding sel. Terdapat reseptor khusus yang memperantarai
pengenalan virus oleh sel inang. Ligan pada virus yang kemudian menempel pada
reseptor sel inang dapat berupa fili, flagella, komponen membrane, ataupun
protein pengikat pada bakteriofage.
2) Penetrasi
Penetrasi yang
sesungguhnya oleh fage ke dalam sel inang bersifat mekanis, tetapi
kadang-kadang dipermudah dengan bantuan enzim lisozim, yang dibawa pada ekor
bakteriofage, yang fungsinya mencernakan dinding sel bakteri inang. Penetrasi
terjadi apabila: (a) serabut ekor virus melekat pada sel dan ekor terikat erat
pada dinding sel; (b) seludang sel .berkontraksi, mendorong inti ekor ke dalam
sel melalui dinding sel dan membran sel; (c) bakteriofage menyuntikkan asam
nukleatnya, seludang proteinnya membentuk kepala fage sementara struktur ekor
virus tetap tertinggal di luar sel inang.
3) Replikasi
Segera setelah injeksi
asam nukleat virus ke dalam sel inang, asam nukleat itu mengambil alih fungsi
dna bakteri dalam melakukan sintesis protein. Menyebabkan sintesis protein itu
menghasilkan asam nukleat virus ketimbang asam nukleat bakteri. Asam nukleat
virus mengadakan replikasi dengan menggunakan bahan-bahan dari sitoplasma sel
inang.
4) Perakitan
dan Pematangan
Setiap untai asam
nukleat hasil replikasi, akan membentuk bagian-bagian tubuh bakteriofage baru,
yang jumlahnya dapat mencapai ratusan pada setiap sel inangnya. Pada virus DNA,
perakitan berlangsung di dalam nukleus. Sedangkan pada virus RNA, perakitan berlangsung
di dalam sitoplasma sel inang.
5) Lisis
Setelah membentuk
bakteriofage baru, sel bakteri akan pecah melepaskan bakteriofage-bakteriofage
baru untuk menginfeksi bakteri-bakteri lain dan memulai lagi daur litik (Pelczar,
et al. 2005).
b. Daur
Lisogenik
Tidak
semua infeksi sel bakteri oleh virus berakhir dengan lisis. Tahapan daur
lisogenik pada prinsipnya tidak jauh berbeda dengan daur litik. Pada daur
lisogenik, DNA bakteriofage tidak mengambil alih fungsi DNA bakteri inang,
tetapi menjadi tergabung ke dalam kromosom bakteri. DNA bakteriofage di dalam
kromosom ini disebut profage. DNA
bakteriofage tersebut bersifat laten atau tidak aktif membelah. Pada daur
lisogenik ini, bakteri inang bermetabolisme dan berkembangbiak secara normal,
dengan DNA virus tetap diteruskan ke setiap sel anak pada generasi berikutnya.
Infeksi
suatu bakteri oleh bakteriofage lisogenik dapat dikenali oleh fakta bahwa
bakteri itu resisten terhadap infeksi oleh virus yang sama atau minimal
sekerabat, atau bila bakteri itu sengaja diinduksi untuk menghasilkan
bakteriofage.
Suatu
perubahan dari keadaan lisogenik menjadi keadaan litik kadang-kadang dapat
diinduksi oleh iradiasi sinar uv atau zat-zat kimia tertentu. DNA bakteriofage
yang mulanya tenang dapat menjadi aktif dan meninggalkan kromosom bakteri,
kemudian membentuk komponen-komponen tubuh bakteriofage seperti pada daur
litik. Dengan terbentuknya bakteriofage di dalam sel bakteri, sel bakteri inang
ini dapat menjadi lisis dan daur litik mulai terjadi lagi (Pelczar, et al. 2005).
2.6 Prion
Prion (protein infectious particle atau partikel protein
infektif) hanya merupakan protein asing, tanpa asam nukleat, yang mampu
menimbulkan penyakit terutama penyakit saraf pada hewan dan manusia. Kata prion
menggambarkan suatu jenis protein yang dapat berubah dari protein “normal”
menjadi “protein prion”
Hadiah Nobel bidang kedokteran pada 1997 dimenangkan
oleh Stanley B.Prusner yang menemukan prion. Sebelumnya, jasad renik penyebab
penyakit yang diketahui adalah parasit, bakteri dan virus. Dengan ditemukannya
prion maka bertambahlah pembendaharaan penyebab penyakit dan terbukalah tabir
rahasia beberapa jenis penyakit yang telah ditemukan bertahun-tahun lalu,
seperti Scrapie pada domba (1730), penyakit sapi gila (1982) dan CJD pada
manusia (1920) dan lain-lain. Karena penyakit prion dapat ditularkan dari hewan
ke manusia, penyakit ini pun diklasifikasikan sebagai penyakit zoonis.
Prion tahan terhadap proses-proses denaturasi protein
normal seperti penggunaan enzim protease, pemanasan, radiasi, desinfektan dan
perendaman dengan formalin. Protein dalam bentuk normal yang mempunyai struktur
seperti prion banyak terdapat di dalam tubuh makhluk hidup, protein ini disebut
Prion related Protein (PrP). PrP yang telah menjadi abnormal (prion) dapat
menimbulkan penyakit pada makhluk hidup tersebut.
Pasca penemuan Prion
oleh ahli Biologi Amerika Serikat, Stanley Prusiner tahun 1997 telah membuka
kebuntuan atagnasi sains selama 60 tahun lebih, yang selama ini menganggap
virus sebagai makhluk paling kecil di dunia. Virus dengan ukuran rata-rata
0,02-0.03 mikro meter ternyata masih lebih kecil dari dua hasil penemuan
Stanley yaitu viroid dan prion. Ukuran jenis viroid lebih kecil dari virus,
tetapi prion masih lebih kecil lagi dibandingkan viroid yaitu sekitar 200 x 20
mm dan hanya bisa dilihat dengan mikroskop elektron. Namun viroid dan prion ini
mempunyai sifat yang sama dengan virus yaitu sama-sama pathogen pada makhluk
hidup lain seperti manusia, hewan dan tumbuhan.
Aktivitas prion dapat dirusak oleh enzim protease
tetapi aktivitas prion tidak terpengaruh oleh DNAase atau RNAase. Prion ini
tidak resisten terhadap cara-cara inaktivasi standar, tetapi resisten terhadap
pengobatan dengan formaldehid, β-propiolakton, etanol, protease, deoksikolat,
dan radiasi ionisasi. Namun, prion peka terhadap fenol (90%), eter, aseton,
detergen kuat (natrium dodesil sulfat 10%), desinfektan yodium, dan autoklaf.
Protein ini biasanya harus diterjemahkan oleh asam
nukleat. Tentu saja hal ini dapat ditemukan pada sel inang yang berisi gen pada
salah satu kromosomnya yang diterjemahkan sebagai protein yang sangat mirip
dengan protein prion. Protein inang dapat berproduksi secara normal dan protein
ini dapat banyak ditemukan di neuron. Pada kenyataannya, prion yang baru datang
atau masuk akan mengubah protein inang tersebut, bisa pada saat sintesis maupun
sesudah sintesis. Perubahan yang terjadi pada protein inang meliputi bagian
dari lipatan-lipatan alternative dan menyebabkan protein kehilangan fungsi
normalnya, sebagian menjadi resisten atau menolak protease dan menjadi sangat
sulit untuk dipecah. Oleh karena itu prion tidak dapat dengan mudah merusak
enzim-enzim pada inangnya, tetapi pada beberapa kasus prion dapat menyebabkan
gen inang normal memproduksi lebih banyak salinan (copy) dari protein patogen
sendiri.
2.6.1 Struktur Prion
Struktur
dan replikasi protein prion sangat penting dalam mempelajari penyakit kuru dan
lainnya.Walaupun detail mengenai konfigurasi prion awalnya belum jelas, tetapi
Prusher telah mampu mengajukan tiga hipotesisnya yang meliputi:
1.
Protein yang mengelilingi asam nukleat
yang dapat menterjemahkan (menyandi) protein (dari virus)
2.
Protein yang melekat (terkait) dengan
polinukleotida kecil
3.
Protein tanpa asam nukleat
Setelah
publikasi dari artikel milik Prusher, ribuan ilmuan mulai mencoba untuk mencari
teka-teki mengenai prion. Ekstrak dari infeksi scrapie pada oak dapat terjadi
melalui ionisasi utraviolet dan radiasi. Dengan perawatan (perlakuan) yang
seperti biasa dapat menghancurkan asam nukleat, tetapi jaringannya tetap
berbahaya dan dapat menular. Prushiner menyimpulkan bahwa agen yang menyebabkan
penyakit scrapie memang nukleotida bebas, seperti protein, ini berarti prion
tidak mengandung RNA atau DNA. Hal ini mematahkan hipotesis Prushier yang
pertama yang menyatakan bahwa prion mungkin virus. Selanjutnya prion tidak
aktif oleh perlakuan yang ekstrim yang dapat merusak atau mengubah sifat
protein, seperti chaotropic ion atau detergen kuat.
Prion
memiliki bentuk ekstaseluler yang nyata, tetapi bentuk tersebut nampaknya
tersusun dari protein. Prion tidak sedikitpun mengandung asam nukleat atau apabila ada molekulnya
tidak cukup panjang untuk menterjemahkan satu jenis protein yang disusun oleh
prion. Pada sejumlah penyakit serius, infeksi prion menyebabkan produksi
salinan yang lebih banyak dari protein prion. Asam nekleat yang sama dan urutan
asam amino akan dapat menghasilkan dua protein yang berbeda. Studi lebih lanjut
menunjukkan perbedaan struktural antara protein prion normal PrPC
(Prion Protein Celluler) dengan protein prion abnormal PrPSc (Prion
Protein Scrapie). PrPC mempunyai 4 bagian alpha helix pada bentuk
aslinya. Pemicu pada proses pengubahan merupakan penyusunan kembali dari
sedikitnya dua bagian PrPC menjadi bentuk antipararel β-pleated
sheet. Protein normal (PrPC) larut dalam detergen kuat (yang tidak
merubah sifat) dan mudah rusak oleh enzim protease, tetapi PrPSc tidak larut dan
sebagian resisten terhadap protease. PrPSc dapat bertahan pada keadaan
asam atau keadaan dasar (biasa), karena memiliki pH yang stabil antara 2 dan 10
dan dapat bertahan selama dua tahun dalam desinfektan yodium. Berikut ini
merupakan gambar perbandingan struktur antara molekul PrPC dengan
PrPSc.
2.6.2 Replikasi Prion
Para
ilmuan percaya bahwa replikasi prion hampir mirip dengan duplikasi pada virus.
Mekanisme replikasi meliputi sintesis polipeptida tanpa asam nukleat tempelate
dan perubahan post-translational (tempat untuk menerjemahkan) protein selular.
Polipeptida merupakan rantai dari asam amino dan asam nukleat tempelate yang
merupakan kumpulan dari molekul DNA dan RNA yang mengandung/ membawa informasi
untuk mengatur fungsi selular.
Pada
prion, replikasi meliputi perubahan konvensional protein-protein menjadi prion.
Replikasi prion terjadi melalui perekrutan prion protein normal dan
“mengubahnya” menjadi prion yang berbahaya dan menjadi bentuk yang dapat terus
menginfeksi sel-sel lain dan hewan. Perubahan inilah yang memacu terjadinya
reaksi berantai, yaitu dengan menempel dan mengubah prion protein lain yang
mereka temui dimana kontak antara prion patogen dengan prion normal terjadi
pada interior masing-masing membran sel. Pada kultur sel, konversi prion ini
terjadi didalam neuron. PrPSc terakumulasi
di lisosom dan akhirnya memenuhi lisosom sampai jumlahnya meledak, sehingga
prion dapat lepas dan menyerang sel lain.
Berdasarkan
hal-hal diatas prion dapat dikatakan merupakan bentuk yang salah-lipat dari
suatu protein yang biasanya terdapat di sel otak. Ketika prion memasuki sel
mengandung protein normal, prion tersebut mengubah protein normal menjadi versi
prion. Ketika suatu prion mengalami kontak dengan “kembarannya” yang normal, ia
dapat menginduksi protein normal tersebut, sehingga protein normal tersebut
menjadi abnormal.
Reaksi
berantai yang dihasilkan dapat berlanjut terus sampai prion berakumulasi pada
jumlah yang membahayakan, menyebabkan malfungsi seluler dan pada akhirnya
menyebabkan terjadinya degenerasi otak.
2.6.3 Penyakit-Penyakit yang
Disebabkan oleh Prion
Prion
menyebabkan berbagai penyakit degenerasi seperti kuru, scrapie,
Creutzfeldt-Jakob disease (vCJD), dan bovine spongiform encephalopathy (BSE atau
sapi gila). Semua penyakit ini menyerang otak atau sistem syaraf lainnya,
mematikan dan belum dapat disembuhkan. Namun sebuah vaksin telah dikembangkan
untuk tikus dan sedang dikembangkan lebih lanjut untuk manusia. Penularan
penyakit ini dari manusia ke manusia, melaui jalur infeksi antara lain praktek
kanibalisme (memakan otak manusia penderita) seperti pada penyakit kuru di
Papua New Guinea; jalur latrogenik (menggunkan produk biologis) seperti
transplantasi kornea, gel lipstik, kosmetik, kapsul, pasenta untuk meremajakan
kulit dan penggunaan elektroda terkontaminasi (deep insertion) pada EEG, alat-alat nekropsi yang terkontaminasi,
hormon pituitari (hormon dibuat dan berasal dari cadaver penderita), transfusi
darah dan produk asal darah (disebabkan oleh nvCJD/newform varian) dan terakhir
secara genetik/herediter (secara statistik insidens terjadinya penyakit adalah
1 per sejuta penduduk). Adapun penyakit-penyakit yang disebabkan oleh prion
dijelaskan sebagai berikut:
a) Kuru
Kuru adalah penyakit prion yang menyebabkan merosotnya
fungsi mental yang cepat dan kehilangan koordinasi otot. Penyakit ini terjadi
pada penduduk asli Fore pada dataran Papua Nugini dan berhubungan dengan ritual
kanibalisme. Kuru merupakan penyakit yang jarang terjadi. Kuru disebabkan oleh
protein infeksius (prion) yang terdapat pada jaringan otak manusia yang
terkontaminasi.
Kuru ditemukan pada penduduk Papua Nugini yang
melakukan kanibalisme, dimana mereka memakan otak orang yang sudah meninggal
sebagai bagaian dari ritual pemakamam. Praktek ini sudah dihentikan sejak tahun
1960, tetapi penyakit kuru masih dilaporkan sampai tahun-tahun sesudahnya
karena penyakit ini memiliki masa inkubasi yang lama. Kuru menyebabkan
perubahan pada otak dan sistem saraf seperti pada penyakit Creutzeldt-Jakob.
Faktor resiko penyakit kuru adalah memakan jaringan otak manusia yang
terinfeksi. Kuru lebih sering terjadi pada wanita dan anak-anak karena mereka
mendapatkan bagian otak untuk dimakan.
b) Bovine Spongiform Encephalopathy
(BSE atau sapi gila)
Penyakit
sapi gila (Bovine Spongiform Encephalopathy/BSE) adalah penyakit yang
disebabkan oleh bahan infeksius yang baru dikenal dan disebut prion. BSE
termasuk salah satu penyakit yg tergolong dalam Transmissible Spongiform
Encephalopathy (TSE) yaitu penyakit yang menyerang susunan syaraf pusat dengan gejala
histopatologik utama adanya degenerasi spongiosus atau terbentuknya
lubang-lubang kosong di dalam sel-sel otak, dapat menular kepada manusia dan
menyebabkan penyakit yang dalam istilah kedokteran disebut Subacute Spongiform
Encephalopathy (SSE). Penyakit ini disebabkan oleh suatu jenis protein (tanpa
asam nukleat) yang bersifat infeksius yaitu prion (Proteinaceous Infectious). Secara normal, protein prion
dihasilkan oleh tubuh (disingkat PrPc/cellular PrP), sedangkan
isoform dari protein prion yang infeksius penyebab TSE disebut Prion Protein
Scrapie (PrPSc), adapun bentuk PrPc dan PrPSc
sama, bobot molekul sama, sekuensnya juga sama. Perbedaan yang paling menonjol
dari kedua protein prion tersebut adalah bahwa PrPSc (bcid) tahan
terhadap Proteinase K suatu enzim yang dapat mendegradasi protein, sedangkan
PrPc (α-helix)
tidak tahan.
Penyakit
BSE ini dikelompokkan dalam satu kelompok dengan penyakit Creutzfeldt-Jakob
Disease (CJD) pada manusia dan Scrapie pada domba dan kambing yang biasanya
disebut Transmissible Spongiform Encephalopathies (TSEs). Secara
eksperimental, BSE dapat ditransmisikan ke mencit, domba, babi, sapi, monyet,
mink, dan marmoset. Diduga penyebab adanya prion ini adalah penggunaan meat
bone meal pada pakan sapi.
BSE
menyerang sapi berumur tiga sampai lima tahun dengan gejala penurunan produksi
susu, gemetar/kejang-kejang dan TSE (Transmissible Encephalopathy) dibagi
menjadi tiga faseyakni fase I yaitu level infeksi yang sangat rendah,
fase II yaitu peningkatan konsentrasi prion di otak, sumsum tulang (inkubasi 6
bulan) dan fase III yaitu kematian pada manusia dengan inkubasi 20 bulan sampai
16 tahun.
Belakangan
diketahui bahwa scrapie PrP terbentuk dari konversi PrP normal di dalam neuron.
Scrapie PrP yang terbentuk terakumulasi di dalam lisosom. Di dalam otak lisosom
yang telah dipenuhi oleh Scrapie PrP ini kemudian pecah dan merusak sel. Sel
yang telah mati akibat pecahnya lisosom ini akan membentuk lobang-lobang dalam
otak, prionnya akan dikeluar dan menyerang sel yang lain. Inilah yang terjadi
pada penyakit sapi gila di Inggris dan di Jepang.
izin copas
BalasHapusya silahkan semoga bermanfaat
Hapus